Rabu, 21 Maret 2012

IMAN KEPADA PARA RASUL



IMAN KEPADA PARA RASUL

 Rasul” berarti orang yang diutus untuk menyampaikan sesuatu. Namun  yang dimaksud “Rasul” disini adalah orang yang diberi wahyu syara’ untuk disampaikan kepada umatnya.
Rasul yang pertama adalah Nabi Nuh u, dan yang terakhir adalah Nabiyullah Muhammad u.
Allah berfirman:
            
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan Nabi-nabi yang berikutnya…” (QS. An Nisa’: 163).
Diriwayatkan dari Anas bin Malik t dalam hadits tentang syafaat, bahwa Nabi r bersabda, "nanti orang-orang akan datang kepada Nabi Adam untuk meminta syafaat, tetapi Nabi Adam meminta maaf kepada mereka seraya berkata , “Datangilah Nuh, Rasul pertama yang diutus Allah..(HR. Bukhari ).
Allah I berfirman tentang Nabi Muhammad r:
                   
“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup Nabi-nabi dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Ahzab: 40).
Allah I mengutus kepada setiap umat seorang Nabi yang membawa syari’at khusus untuk kaumnya atau dengan membawa syari’at sebelumnya yang telah diperbaharui.
Allah I berfirman:
             
“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Rasul pada tiap-tiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah (saja), dan jauhilah thaghut…” (QS. An Nahl: 36).
Allah berfirman:
              
 “sesungguhnya Kami mengutus kamu dengan membawa kebenaran sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan. Dan tidak ada suatu umatpun melainkan telah ada padanya seorang pemberi peringatan.” (QS. Fathir: 24)
Allah berfirman:
               
Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat didalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi…” (QS. Al Maidah: 44).
Para Rasul adalah manusia biasa, makhluk Allah yang tidak mempunyai sedikitpun keistimewan rububiyah dan uluhiyah. Allah I berfirman tentang Nabi Muhammad r sebagai pimpinan para Rasul dan yang paling tinggi kedudukannya di sisi Allah:
                              
“Katakanlah, “aku tidak berkuasa menarik kemanfaatan bagi diriku dan tidak (pula) menolak kemudharatan kecuali yang dikehendaki Allah. Dan sekiranya aku mengetahui yang ghaib, tentulah aku membuat kebajikan sebanyak-banyaknya dan aku tidak akan ditimpa kemudharatan. Aku tidak lain hanyalah pemberi peringatan, dan pembawa berita gembira bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Al A’raf : 188).
Allah berfirman:
                       
“Katakanlah , “Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan sesuatu kemudharatanpun kepadamu dan tidak (pula) sesuatu kemanfaatan. Katakanlah , “sesungguhnya sekali-kali tidak seorangpun yang dapat melindungiku dari (azab) Allah dan sekali-kali tiada memperoleh tempat berlindung daripada-Nya.” (QS. Al Jin: 21-22).
Para Rasul juga memiliki sifat-sifat kemanusiaan, seperti sakit, mati, butuh makan dan minum dan lain sebagainya. Allah I berfirman tentang Nabi Ibrahim `alaihissalam yang menjelasakan sifat Rabbnya:
                
“Dan Rabbku, yang Dia memberi makan dan minum kepadaku, dan apabila aku sakit, Dialah yang menyembuhkan aku, dan yang akan mematikan aku, kemudian akan menghidupkan aku (kembali)…” (QS. Asy Syuara’: 79-81).
Nabi muhammad r bersabda:
(( إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ أَنْسَى كَمَا تَنْسَوْنَ، فَإِذَا نَسِيْتُ فَذَكِّرُوْنِيْ ))
“Aku tidak lain hanyalah manusia seperti kalian. Aku juga lupa seperti kalian. Karenanya, jika aku lupa, ingatkanlah aku.”
Allah I menerangkan bahwa para Rasul mempunyai ubudiyah (penghambaan) yang tertinggi kepada-Nya. Untuk memuji mereka, Allah I berfirman tentang Nabi Nuhu :
      
“…Dia adalah hamba (Allah) yang banyak bersyukur.” (QS. Al Isra’: 3).
Allah I juga berfirman tentang Nabi Muhammad r:
           
“Maha suci Allah yang telah menurunkan Al-Furqan (Al Qur’an) kepada hamba-Nya, agar dia menjadi pemberi peringatan kepada seluruh alam.” (QS. Al Furqan: 1).
Allah juga berfirman tentang Nabi Ibrahim, Nabi Ishaq, dan Nabi Ya’qub u:
                 
 “Dan ingatlah hamba-hamba Kami, Ibrahim, Ishaq dan Ya’qub yang mempunyai perbuatan-perbuatan yang besar dan ilmu-ilmu yang tinggi. Sesungguhnya Kami telah mensucikan mereka dengan (menganugerahkan kepada mereka) akhlak yang tinggi yaitu selalu mengingatkan (manusia) kepada negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka pilihan yang paling baik.” (QS. Shaad: 45-47).
Allah juga berfirman tentang Nabi Isa bin Maryam u:
            
 “Isa tidak lain hanyalah seorang hamba yang Kami berikan kepadanya ni’mat (kenabian) dan Kami jadikan dia sebagai tanda bukti (kekuasaan) untuk Bani Israil.” (QS. Az Zukhruf: 59).
Iman kepada para Rasul mencakup empat hal:
1.Mengimani bahwa risalah mereka benar-benar dari Allah I. Barangsiapa mengingkari risalah mereka, walaupun hanya seorang, maka maka sungguh ia telah mengingkari risalah seluruh para Rasul.
Allah I berfirman:
      
 “Kaum Nuh telah mendustakan para Rasul.” (QS. Asy Syu’ara’: 105).
Allah I menyatakan bahwa mereka mendustakan semua Rasul, padahal hanya seorang Rasul saja yang mereka dustakan. Oleh karena itu umat Nasrani yang mendustakan dan tidak mau mengikuti Nabi Muhammad r, berarti mereka juga telah mendustakan dan tidak mengikuti Nabi Isa Al Masih bin Maryam, karena Nabi Isa sendiri pernah manyampaikan kabar gembira dengan akan datangnya Nabi Muhammad r sebagai rahmat bagi semesta alam. Kata “memberi kabar gembira” ini mengandung makna bahwa Muhammad adalah seorang Rasul kepada mereka juga, dimana Allah menyelamatkan mereka dari kesesatan dan memberi petunjuk mereka kepada jalan yang lurus melalui Nabi tersebut .
2.Mengimani orang-orang yang sudah kita kenali nama-namanya, misalnya Muhammad, Ibrahim, Musa, Isa, Nuh u. Kelima Nabi Rasul itu dikenal dengan “ulul azmi”. Allah I telah menyebut mereka dalam dua tempat dari Al Qur’an, yakni  dalam surat Al Ahzab dan surat Asy syura:
       Allah berfirman:
                
“Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil perjanjian dari Nabi-Nabi dan dari kamu (sendiri), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam…” (QS. Al Ahzab: 7).
Allah berfirman:
                         
“Dia telah mensyari’atkan bagi kamu tentang agama yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan juga apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa, yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah-belah tentangnya…” (QS.  Asy Syuura: 13).
Terhadap para Rasul yang tidak dikenal nama-namanya, kita juga wajib beriman kepada mereka secara global.
Allah I berfirman:
                
 “Dan sesungguhnya telah Kami utus beberapa orang Rasul sebelum kamu, di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antara mereka ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu…” (QS. Al Mu’min: 78).


3.Membenarkan apa yang mereka beritakan.
4.Mengamalkan syari’at Rasul yang diutus kepada kita. Dia adalah Nabi terakhir Muhammad r yang diutus Allah kepada seluruh manusia.
       Allah berfirman:
                     
“Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An Nisa’: 65).

Buah iman kepada para Rasul.
1.    Mengetahui rahmat serta perhatian Allah kepada hamba-hambanya sehingga mengutus para Rasul untuk menunjukkan mereka kepada jalan Allah, serta menjelaskan bagaimana seharusnya mereka menyembah Allah I, karena akal manusia tidak bisa mengetahui hal itu dengan sendirinya.
2.    Mensyukuri ni’mat Allah yang amat besar ini.
3.    Mencintai para Rasul, mengagungkan serta memuji mereka, karena mereka adalah para Rasul Allah I dan karena mereka hanya menyembah Allah, menyampaikan risalah-Nya, dan menasehati hamba-Nya.
Orang-orang yang menyimpang dari kebenaran, mendustakan para Rasul dengan menganggap bahwa para Rasul Allah bukanlah manusia. Anggapan yang keliru ini dibantah Allah I dalam sebuah firman-Nya:
                                
“Dan tidak ada sesuatu yang menghalangi manusia untuk beriman tatkala datang petunjuk kepada mereka, kecuali perkataan mereka , “Adakah Allah mengutus seorang manusia menjadi Rasul? Katakanlah,”andai bumi itu dihuni oleh para malaikat yang berjalan di atas permukaannya dengan tenang, niscaya Kami turunkan dari langit seorang malaikat untuk menjadi Rasul." (QS. Al Isra: 94-95).
Dalam ayat di atas Allah I mematahkan anggapan mereka yang keliru. Rasul Allah harus dari golongan manusia, karena ia akan diutus kepada penduduk bumi yang juga manusia.
Seandainya penduduk bumi itu Malaikat, pasti Allah akan menurunkan Malaikat dari langit sebagai Rasul.
Di dalam surat Ibrahim, Allah mengisahkan tentang orang-orang yang mendustakan para Rasul:
                                                                 
 “Mereka (orang-orang yang mendustakan Rasul) berkata, “kamu tidak lain hanyalah manusia seperti kami juga. kamu menghendaki untuk menghalang-halangi kami dari apa yang selalu disembah oleh nenek moyang kami. Karena itu, datangkanlah kepada kami bukti yang nyata.” Rasul-Rasul mereka berkata kepada mereka, “Kami tidak lain hanyalah manusia seperti kamu, akan tetapi Allah memberi karunia kepada siapa yang Dia kehendaki di antara hamba-hambanya. Dan tidak patut bagi Kami mendatangkan suatu bukti kepada kamu melainkan dengan izin Allah. Dan hanya kepada Allah sajalah hendaknya orang-orang mukmin bertawakkal.” (QS. Ibrahim 10-11).

 

 

 

 

 

 



 

IMAN KEPADA HARI AKHIR


Hari Akhir adalah hari kiamat,  dimana seluruh manusia dibangkitkan pada hari itu untuk dihisab dan dibalas. Hari itu disebut hari akhir, karena tidak ada hari lagi setelahnya. Pada hari itu penghuni surga dan penghuni neraka masing-masing menetap di tempatnya.
Iman kepada hari Akhir mencakup tiga hal:
1.    Beriman kepada ba’ts (kebangkitan), yaitu menghidupkan kembali orang-orang yang sudah mati ketika tiupan sangkakala yang kedua kali. Di saat itu semua manusia bangkit untuk menghadap Rabb alam semesta dengan tidak beralas kaki, bertelanjang, dan tidak disunat.
Allah I berfirman:
                  
"Sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiya’: 104).
Kebangkitan adalah kebenaran yang pasti ada, bukti keberadaannya diperkuat oleh Al Kitab, sunnah dan ijma’ umat Islam.

Allah I berfirman:
             
 “Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan mati. Kemudian sesungguhnya kamu sekalian akan dibangkitkan (dari kuburmu) di hari kiamat.” (QS. Al Mu’minun: 15- 16).
Nabi Muhammad r bersabda:
(( يُحْشَرُ النَّاسُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حُفَاةً غُرَلاً ))
“Di hari kiamat seluruh manusia akan dihimpun dengan keadaan tidak beralas kaki dan tidak disunat.” (HR. Bukari & Muslim).
Umat Islam sepakat tentang adanya hari kebangkitan, Karena hal itu sesuai dengan hikmah Allah yang mengembalikan ciptaannya untuk diberi balasan terhadap segala yang telah diperintahkan-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
Allah berfirman:
          
 “Maka apakah kamu mengira bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?” (QS. Al Mu’minun: 115).
Allah I berfirman kepada Rasulullah r:
           
 “Sesungguhnya yang mewajibkam atasmu (melaksnakan hukum-hukum) Al Qur’an benar-benar akan mengembalikan kamu ke tempat kembali…” (QS. Al Qashash: 85).
2.    Beriman kepada hisab (perhitungan) dan jaza’ (pembalasan) dengan meyakini bahwa seluruh perbuatan manusia akan dihisab dan dibalas. Hal ini dipaparkan dengan jelas di dalam Al Qur’an, sunnah dan ijma’ (kesepakatan) umat Islam.
Allah I berfirman:
          
 “Sesungguhnya kepada Kami mereka kembali, kemudian sesungguhnya kewajiban Kami menghisab mereka.” (QS. Al Ghasyiah: 25-26).
Allah berfirman:
                  
“Barang siapa membawa amal yang baik maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya, dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi balasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, sedang mereka sedikitpun tidak dianiaya (dirugikan).” (QS. Al- An’am: 160).
Allah berfirman:
                      
 “Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiada dirugikan seorangpun barang sedikit. Dan sekalipun(amalan itu) hanya seberat biji sawi pasti Kami berikan (pahala)nya. Dan cukuplah Kami sebagai pembuat perhitungan.” (QS. Al Anbiya’: 47).
Dari Ibnu Umar t diriwayatkan bahwa Nabi r bersabda yang artinya:
“Allah nanti akan mendekatkan orang mukmin, lalu meletakkan hijab dan menutupnya. Allah bertanya , “Apakah kamu tahu dosamu ini?” “apakah kamu tahu dosamu itu?” Ia menjawab, “Ya Rabbi.” Ketika ia sudah mengakui dosa-dosanya dan melihat dirinya telah binasa, Allah I berfirman , “Aku telah menutupi dosa-dosamu di dunia dan sekarang Aku mengampuninya.” Kemudian diberikan kepada orang mukmin buku amal baiknya. Adapun orang-orang kafir dan orang-orang munafik, Allah I memanggilnya di hadapan orang banyak. Mereka orang-orang yang mendustakan Rabbnya. Ketahuilah, laknat Allah itu untuk orang-orang yang dzalim.” (HR. Bukhari Muslim).
Nabi r bersabda:
(( أَنَّ مَنْ هَمَّ بِحَسَنَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهُ اللهُ عِنْدَهُ عَشَرَ حَسَنَاتٍ إِلىَ سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ إِلىَ أَضْعَافٍ كَثِيْرَةٍ، وَإِنْ هَمَّ بِسَيِّئَةٍ فَعَمِلَهَا كَتَبَهَا اللهُ سَيِّئَةً وَاحِدَةً ))
“Orang yang berniat melakukan satu kebaikan, lalu mengamalkannya, maka ditulis baginya sepuluh kebaikan, sampai tujuh ratus kali lipat, bahkan sampai beberapa kali lagi. Barangsiapa berniat melakukan satu kejahatan, lalu mengamalkannya, maka Allah  menulisnya satu kejahatan saja.”
Umat Islam telah sepakat tentang adanya hisab dan pembalasan amal, karena hal itu sesuai dengan kebijaksanaan Allah. Sebagaimana kita ketahui, Allah I telah menurunkan Kitab-kitab, mengutus para Rasul serta mewajibkan kepada manusia untuk menerima ajaran yang dibawa oleh Rasul-Rasul Allah dan mengamalkannya. Dan Allah telah mewajibkan agar berperang melawan orang-orang kafir yang menentang-Nya serta menghalalkan darah, anak-anak, isteri dan harta benda mereka. Kalau tidak ada hisab dan balasan tentu hal ini hanya sia-sia belaka, dan Rabb yang Maha bijaksana, Mahasuci dari melakukan perbuatan yang sia-sia.
Allah I telah menjelaskan hal itu dalam firman-Nya:
               
 “Maka sesungguhnya Kami akan menanyai umat-umat yang telah diutus Rasul-Rasul kepada mereka dan sesungguhnya Kami akan menanyai (pula) Rasul-Rasul (Kami), maka sesungguhnya akan Kami kabarkan kepada mereka (apa-apa yang telah mereka perbuat). Sedang (Kami) mengetahui (keadaan mereka), dan Kami sekali-kali tidak jauh (dari mereka).” (QS. Al A`raaf: 6-7).
3.    Mengimani surga dan neraka sebagai tempat manusia yang abadi. Surga adalah tempat keni’matan yang disediakan Allah untuk orang-orang mukmin yang bertakwa, yang mengimani apa-apa yang harus diimani, yang taat kepada Allah dan Rasul-Nya, dan untuk orang-orang yang beribadah dengan ikhlas serta mengikuti sunah Nabi.
Di dalam surga terdapat berbagai kenikmatan yang tidak pernah dilihat mata, tidak pernah didengar telinga, serta tidak terlintas dalam benak manusia.
Allah berfirman:
                                 
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk. Balasan mereka di sisi Rabb mereka ialah surga ‘Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka, dan merekapun ridha kepada-Nya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Rabbnya.” (QS. Al bayyinah: 7-8).
Allah berfirman:
                
“Tidak seorang pun yang mengetahui apa yang disembunyikan untuk mereka, yaitu (bermacam-macam ni’mat) yang menyenangkan pandangan mata sebagai balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. As Sajadah : 17).
Neraka adalah tempat azab yang disediakan Allah untuk orang-orang kafir, yang berbuat zalim serta untuk orang yang mendurhakai Allah dan Rasul-Nya. Di dalam neraka terdapat berbagai azab dan siksaan, yang tidak pernah terlintas dalam pikiran.
Allah berfirman:
       
“Dan peliharalah dirimu dari api neraka, yang disediakan untuk orang-orang yang kafir.” (QS. Al Imran: 131).
Allah berfirman:
                              
“Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang yang zalim neraka yang gejolak apinya mengepung mereka. Jika mereka meminta minum, maka mereka akan diberi minuman dengan air seperti besi yang mendidih yang dapat menghanguskan muka. Itulah minuman yang paling buruk dan tempat istirahat yang paling jelek.” (QS. Al Kahfi: 29).
                              
 “Sesungguhnya Allah melaknati orang-rang kafir dan menyediakan bagi mereka api yang menyala-nyala (neraka). Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Mereka tidak memperoleh seorang pelindungpun dan tidak (pula) seorang penolong. Pada hari ketika muka mereka dibolak-balikkan dalam neraka, mereka berkata , “Alangkah baiknya, andaikata Kami taat kepada Allah dan taat (pula) kepada Rasul.” (QS. Al Ahzab: 64-66).
Termasuk Iman kepada hari akhir adalah mengimani peristiwa-peristiwa yang akan terjadi sesudah mati, misalnya :
a.    fitnah kubur, yaitu pertanyaan yang diajukan kepada mayat ketika sudah dikubur, tentang Rabb, agama dan Nabinya. Allah akan meneguhkan orang-orang yang beriman dengan kata-kata yang benar. Maka mereka menjawab pertanyaaan itu dengan tegas dan penuh keyakinan, dengan mengatakan," Allah Rabbku, Islam agamaku, dan Muhammad r Nabiku". Sebaliknya Allah akan menyesatkan orang-orang yang dzalim dan kafir. Mereka tidak mampu menjawab pertanyaan tersebut. Mereka akan berkata, “Aku… aku tidak tahu.” Begitu juga orang-orang munafik akan menjawab pertanyaan itu dengan kebingungan, "aku tidak tahu. Dulu aku pernah mendengar orang-orang mengatakan sesuatu, lalu aku mengikutinya.”
b.    Siksa dan ni’mat kubur. Siksa kubur diperuntukkan bagi orang-orang dzalim, yakni orang-orang munafik dan orang-orang kafir, seperti dalam firman-Nya:
                             
“…alangkah dahsyatnya sekiranya kamu melihat di waktu orang-orang yang dzalim (berada) dalam tekanan-tekanan sakaratul maut, sedang para Malaikat memukul dengan tangannya, (sambil berkata), “keluarkanlah nyawamu.” Di hari ini kamu dibalas dengan siksaan yang sangat menghinakan, karena kamu selalu mengatakan terhadap Allah (perkataan) yang tidak benar dan (karena) kamu selalu menyombongkan diri terhadap ayat-ayat-Nya.” (QS. Al an’am: 93).
Allah I berfirman tentang pengikut Fir`aun:
               
“Kepada mereka dinampakkan neraka pada pagi dan petang, dan pada hari terjadinya kiamat. (Dikatakan kepada Malaikat) , “Masukkan Fir`aun dan kaumnya ke dalam azab yang sangat keras.” (QS. Al Mu’min : 46).
Dari Zaid bin Tsabit diriwayatkan bahwa Nabi r bersabda:
“kalau tidak karena kalian saling mengubur (orang yang mati), pasti aku memohon kepada Allah agar memperdengarkan siksa kubur kepada kalian yang saya dengar.” Kemudian Nabi r menghadapkan wajahnya seraya bersabda,“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari siksa neraka.” Nabi r kemudian berkata lagi, “Mohonlah perlindungan Allah dari siksa kubur.” Para sahabat berkata, “Kami memohon perlindungan Allah dari siksa kubur.” Lalu beliau berkata lagi,“Mohonlah perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Para sahabat lalu berkata, “Kami memohon perlindungan kepada Allah dari berbagai fitnah baik yang tampak maupun yang tidak tampak.” Nabi r berkata lagi , “Mohonlah perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” Para sahabat berkata, “Kami mohon perlindungan kepada Allah dari fitnah dajjal.” (HR. Muslim).
Adapun ni’mat kubur diperuntukkan bagi orang-orang mukmin yang benar-benar beribadah kepada-Nya. Hal ini telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya:
                     
“sesungguhnya orang-orang yang mengatakan , “Rabb Kami ialah Allah”, kemudian mereka istiqamah, para malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan) , “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan gembiralah  dengan (memperoleh) surga yang  telah dijanjikan Allah kepadamu.” (QS. Fushshilat: 30).


Allah berfirman:
                                        
 “Maka mengapa ketika nyawa sampai di kerongkongan, padahal kamu ketika itu melihat, dan Kami lebih dekat kepadanya daripada kamu. Tetapi kamu tidak melihat, maka mengapa jika kamu tidak dikuasai (oleh Allah)? Kamu tidak mengembalikan nyawa itu (kepada tempatnya) jika kamu adalah orang-orang yang benar?. Adapun jika dia (orang yang mati) termasuk orang yang didekatkan (kepada Allah), maka dia memperoleh ketentraman dan rezeki serta surga keni’matan.” (QS. Al Waqi’ah: 83-89).
Diriwayatkan dari Al Bara’ bin `Aazib t bahwa Nabi r bersabda tentang orang mukmin yang dapat menjawab pertanyaan Malaikat di dalam kuburnya, “ada suara yang menyeru dari langit , “hamba-Ku memang benar. Oleh karenanya berilah dia permadani dari surga, berilah pakaian dari surga, dan bukakanlah baginya pintu surga.” Lalu datanglah keni’matan dan keharuman dari surga, dan kuburnya dilapangkan sejauh mata memandang …” (HR. Ahmad & Abu Daud).
Buah iman kepada hari akhir:
1.    Gemar melakukan ketaatan demi mengharap pahala di hari tersebut.
2.    Membenci perbuatan maksiat dengan rasa takut akan disiksa pada hari itu.
3.    Menghibur orang mukmin jika tidak mendapatkan balasan kebajikannya di dunia dengan mengharap keni’matan serta pahala di akhirat.
Orang-orang kafir mengingkari adanya kebangkitan setelah mati, mereka menyangka bahwa hari akhir dengan segala peristiwa-peristiwanya adalah suatu hal yang mustahil. Dugaan mereka jelas sangat keliru dan kesalahan itu dapat dibuktikan dengan syara’, indera, dan akal.

1.    Bukti syara’
Allah I berfirman:
                    
“Orang-orang kafir mengatakan bahwa mereka sekali-kali tidak akan dibangkitkan. Katakanlah,“Tidak demikian, demi Rabbku, benar-benar kamu akan dibangkitkan, kemudian akan diberitakan kepadamu apa yang telah kamu kerjakan.” Yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” (QS. At Taghabun : 7).
Hal ini juga telah dijelaskan oleh kitab-kitab suci yang terdahulu.




2.   Bukti inderawi
Allah I telah memperlihatkan bagaimana Dia menghidupkan orang-orang yang sudah mati di dunia ini.
Dalam surat Al Baqarah terdapat lima contoh mengenai hal ini:
a.    Ketika kaum Musa berkata kepada Nabi Musa u bahwa mereka tidak akan percaya dengan risalah yang dibawa Musa u, sampai mereka melihat Allah dengan mata kepala mereka sendiri. Oleh karena itu Allah berfirman (yang ditujukan kepada Bani Israil):
                        
 “Dan (ingatlah), ketika kamu berkata, “Hai Musa, Kami tidak akan beriman kepadamu sebelum kami melihat Allah dengan terang.” Karena itu kamu disambar halilintar, sedang kamu menyaksikannya. Setelah itu Kami bangkitkan kamu sesudah mati, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 55-56).
b.    Kisah orang yang terbunuh yang pembunuhnya dipersengketakan bani Israil. Allah I lalu memerintahkan mereka untuk menyembelih sapi, kemudian salah satu anggota sapi itu dipukulkan ke tubuh orang yang terbunuh itu agar dapat menceritakan siapa sebenarnya yang telah membunuhnya. Hal ini diungkapkan dalam firman-Nya:
                        
“Dan (ingatlah), ketika kamu membunuh seorang manusia, lalu kamu saling tuduh-menuduh tentang itu. Dan Allah hendak menyingkapkan apa yang selama ini kamu sembunyikan. Lalu Kami berfirman , “Pukullah mayat itu dengan sebahagian anggota sapi betina itu!” Demikianlah Allah menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati, dan memperlihatkan kepadamu tanda-tanda kekuasaan-Nya agar kamu mengerti.” (QS. Al-Baqarah: 72-73).
c.           Kisah kaum yang meninggalkan negerinya untuk menghindari kematian. Mereka berjumlah ribuan orang. Allah mematikan mereka, lalu menghidupkan kembali. Ini dijelaskan dalam firman-Nya:
                              
 “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang keluar dari kampung halaman mereka, sedang mereka beribu-ribu (jumlahnya) karena takut mati, maka Allah berfirman kepada mereka,“Matilah kamu, kemudian Allah menghidupkan mereka. Sesungguhnya Allah mempunyai karunia terhadap manusia, tetapi kebanyakan manusia tidak bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 243).
d.          Kisah orang yang melewati sebuah desa yang hancur. Dia sangsi, bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur, maka Allah  mematikan orang tersebut selama seratus tahun, kemudian Allah menghidupkan kembali. Ini dikisahkan dalam firman-Nya:
                                                                     
 “Atau apakah (kamu memperhatikan) orang yang melewati suatu negeri yang (temboknya) telah roboh menutupi atapnya. Dia berkata, “Bagaimana Allah menghidupkan kembali negeri ini setelah hancur?” maka Allah mematikan orang itu seratus tahun, kemudian menghidupkan kembali. Allah bertanya, “Berapa lama kamu tinggal di sini? Ia menjawab, “Saya tinggal di sini sehari atau setengah hari.” Allah berfirman,“Sebenarnya kamu telah tinggal di sini seratus tahun lamanya. Lihatlah makanan dan minumanmu yang belum lagi berubah, dan lihatlah keledaimu (yang telah mejadi tulang-belulang). Kami akan menjadikan kamu tanda kekuasaan Kami bagi manusia. lihatlah tulang-belulang keledai itu, kemudian Kami menyusunnya kembali, kemudian Kami membalutnya dengan daging. Maka tatkala telah nyata kepadanya (bagaimana Allah menghidupkan yang telah mati) diapun berkata,“Saya yakin Allah maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al Baqarah: 259).
e.    Kisah Nabi Ibrahim `alaihissalam ketika meminta kepada Allah untuk memperlihatkan kepadanya, bagaimana Dia menghidupkan kembali orang-orang yang telah mati. Allah memerintahkannya menyembelih empat ekor burung dan memisah-misahkan bagian-bagian tubuh burung itu di atas gunung-gunung yang ada di sekelilingnya. Lalu Ibrahim memanggil burung itu, tak lama kemudian, tampaklah olehnya bagian-bagian tubuh burung-burung itu menyatu dan segera mendatangi Nabi Ibrahim kembali. Ini dikisahkan Allah dalam Al-Qur’anul Karim:
                                         
“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata, “ya Rabbku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman, “Apakah kamu belum percaya?” Ibrahim menjawab, “Saya telah percaya, akan tetapi agar hatiku bertambah tenang.” Allah berfirman (kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu, lalu letakkan di atas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, sesudah itu panggillah mereka, niscaya mereka datang kepada kamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al Baqarah: 260).
Inilah beberapa bukti inderawi yang menunjukkan mungkinnya Allah menghidupkan orang-orang yang sudah mati. Telah dijelaskan sebelumnya bahwa Allah memberikan mukjizat kepada Isa bin Maryam dengan menghidupkan orang-orang yang sudah mati serta mengeluarkannya dari kubur dengan izin Allah I.
3.   Bukti akal (logika)
Bukti akal dapat dibagi menjadi dua bagian :
a.    Allah I sebagai pencipta langit dan bumi seisinya telah menciptakannya pertama kali. Allah mampu menciptakan pertama kali, tentu mampu pula untuk menghidupkannya kembali.
Allah berfirman:
            
“Dan Dialah yang menciptakan (manusia) dari permulaan, kemudian kembali (menghidupkan)nya, dan menghidupkan kembali itu adalah lebih mudah bagiNya…” (QS. Ar rum: 27).
Allah berfirman:
                  
 “sebagaimana Kami telah memulai penciptaan pertama, begitulah Kami akan mengulanginya. Itulah suatu janji yang pasti Kami tepati. Sesungguhnya Kamilah yang akan melaksanakannya.” (QS. Al Anbiya’: 104).
Allah berfirman memerintahkan Rasul-Nya untuk membantah alasan orang yang mengingkari kekuasaan Allah menghidupkan kembali mayat yang telah menjadi tulang-belulang:
            
“Katakanlah,“ia akan dihidupkan oleh Rabb yang menciptakannya kali yang pertama. Dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk.” (QS. Yasin: 79).
b.    Bumi yang kering dan tandus akan hijau kembali dan tumbuhan yang mati akan bergerak subur setelah disirami hujan. Dzat Yang mampu  menghidupkan tumbuh-tumbuhan setelah mati, tentu mampu menghidupkan orang-orang yang sudah mati.
Allah I berfirman:
                        
 “Dan sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)Nya bahwa kamu melihat bumi itu kering tandus, maka apabila Kami turunkan air di atasnya, niscaya ia bergerak dan subur. Sesungguhnya Tuhan yang menghidupkannya tentu dapat menghidupkan yang mati. Sesungguhnya Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Fushshilat: 39).



Allah berfirman:
                           
 “Dan Kami turunkan dari langit air yang banyak manfaatnya, lalu Kami tumbuhkan dengan air itu pohon-pohon dan biji-bijian tanaman yang diketam, dan pohon kurma yang tinggi-tinggi yang mempunyai mayang yang bersusun-susun untuk menjadi rezki bagi hamba-hamba (Kami), dan Kami hidupkan dengan air itu tanah yang mati (kering). Seperti itulah terjadinya kebangkitan.” (QS. Qaaf: 9-11).
Orang-orang yang meingkari siksa kubur dan keni’matannya mengira hal itu suatu perkara yang mustahil serta bertolak belakang dengan kenyataan karena apabila kubur digali, tidak akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit. Dugaan mereka ini jelas tidak benar menurut syara’, indera, dan akal.

1-  Dalil syara’
Ibnu Abbas t berkata, “Rasululah r pernah keluar dari salah satu kebun kota madinah lalu beliau mendengar ada dua orang yang disiksa di dalam kuburnya.” Dalam hadits itu disebutkan bahwa yang satu disiksa karena buang air kecil di sembarang tempat sehingga auratnya kelihatan oleh orang yang lewat, dan yang satunya lagi karena mengadu domba.” (HR. Bukhari).

2-  Dalil inderawi
Orang yang tidur terkadang mimpi bahwa dia berada di tempat yang luas, menggembirakan, dan dia bersenang-senang di sana. Atau terkadang dia juga bermimpi berada di tempat yang sempit, menakutkan, dan membuatnya tersiksa. Terkadang seseorang bisa terjaga karena mimpi buruk, padahal ia berada di atas tempat tidur di kamarnya. Tidur adalah saudara kematian.
Oleh karena itu Allah menyebut tidur dengan “wafat”, seperti dalam firman-Nya:
                    
“Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya; maka Dia menahan jiwa (orang yang telah Dia tetapkan kematiannya dan Dia melepaskan jiwa yang lain sampai waktu yang ditentukan…” (QS. Az zumar: 42).
3-  Dalil akal
Orang yang tidur terkadang bermimpi yang benar sesuai dengan kenyataan. Bisa jadi ia bermimpi melihat Nabi r sesuai dengan sifat beliau. Barangsiapa pernah bermimpi melihat beliau sesuai dengan sifatnya, maka dia bagaikan melihatnya benar-benar. Padahal waktu itu dia berada di dalam kamarnya, di atas tempat tidur, jauh dari alam yang di mimpikan. Apabila keadaan tersebut suatu hal yang mungkin dijumpai di dunia, maka bagaimana tidak mungkin dijumpai di akhirat?
Adapun dalih mereka bahwa apabila kubur digali, akan didapati seperti semula, tidak bertambah luas dan tidak pula bertambah sempit maka jawabannya :
1.    Apa yang dibawa syara’ tidak boleh dipertentangkan dengan hal-hal yang bersifat dugaan. Kalau ia mau berpikir tentang keterangan yang dibawa oleh syara’ ia pasti mengetahui kekeliruannya.
Seorang penyair bertutur:
Berapa banyak orang yang mencela pendapat yang benar
Padahal sikap itu timbul dari pemahamannya yang salah.
2.    keadaan dalam barzakh (alam kubur) termasuk hal-hal ghaib yang tidak dapat dijangkau oleh indera, kerena jika hal itu dapat diindera, maka tidak ada artinya iman kepada yang ghaib, dan sama antara orang yang beriman kepada yang ghaib dan orang yang mengingkarinya.
3.    Siksa kubur, ni’mat kubur, luas dan sempitnya kubur hanya dapat dijumpai oleh mayat itu sendiri, bukan yang lain. Ini seperti yang dilihat orang tidur dalam mimpinya, dia bisa berada di tempat yang sempit dan menakutkan, atau di tempat yang luas dan menyenangkan, padahal menurut orang yang melihatnya tidur, keadaan orang tersebut tidak berubah, ia masih di dalam kamar di antara selimut dan kasur.
Ketika menerima wahyu, Nabi Muhammad r berada di tengah-tengah para sahabatnya. Beliau mendengar wahyu, tetapi para sahabatnya tidak mendengar. Terkadang wahyu itu diturunkan dengan cara Malaikat menjelma dalam bentuk rupa seorang laki-laki, lalu berbicara dengan beliau, dan para sahabat tidak melihat serta mendengarnya.
4.    Pengetahuan manusia terbatas pada sesuatu yang hanya diizinkan Allah untuk diketahuinya. Tidak mungkin manusia dapat mengetahui segala yang ada. Langit yang tujuh serta bumi seisinya semua bertasbih dengan memuji Allah, Dia memperdengarkan kejadian tersebut kepada orang yang dikehendakinya, kecuali manusia.
Dalam hal ini Allah berfirman:
                   
 “Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada satupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka.” (QS. Al Isra’: 44).
Demikian halnya dengan setan dan jin yang berkeliaran di atas bumi. Pernah ada jin datang kepada Nabi r mendengar beliau sedang membaca Al quran, kemudian dia kembali ke kaumnya sebagai juru da’wah.




Dalam hal ini Allah I berfirman:
                                
 “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh setan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu-bapakmu dari surga. Ia menanggalkan dari keduanya pakaiannya  untuk memperlihatkan kepada keduanya aurat keduanya. Sungguh, ia dan pengikutnya melihat kamu dari suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. sesungguhnya Kami telah menjadikan setan-setan itu pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang tidak beriman.” (QS. Al A’raf: 27).
Apabila manusia tidak dapat mengetahui segala yang ada, maka mereka tidak boleh mengingkari perkara-perkara ghaib yang ditetapkan oleh syara’ sekalipun mereka tidak dapat mengetahuinya dengan indera mereka.


IMAN KEPADA TAKDIR


Al qadar adalah takdir Allah I untuk seluruh makhluk yang ada sesuai dengan ilmu dan hikmah-Nya.
Iman kepada takdir mencakup empat hal:
1.    Mengimani bahwa Allah mengetahui segala sesuatu secara global maupun terperinci, azali dan abadi, baik yang berkaitan dengan perbuatan-Nya maupun perbuatan para hamba-Nya.
2.    Mengimani bahwa Allah telah menulis hal itu di “Lauh Mahfudz”.
Tentang kedua hal tersebut Allah berfirman:
                    
“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi; bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfudzh)? Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (QS. Al Hajj: 70).
Abdullah bin Umar t Berkata, “Aku pernah mendengar Rasululah r bersabda:
(( كَتَبَ اللهُ مَقَادِيْرَ الْخَلاَئِقِ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ بِخَمْسِيْنَ أَلْفَ سَنَةٍ ))
“Allah telah menulis (menentukan) takdir seluruh makhluk lima puluh ribu tahun sebelum menciptakan langit dan bumi.” (HR. Muslim).
3.    Mengimani bahwa seluruh yang terjadi, tidak akan terjadi kecuali dengan kehendak Allah I. Baik yang berkaitan dengan perbuatan Allah sendiri maupun yang berkaitan dengan perbuatan makhluk-makhlukNya.
Allah I berfirman tentang hal yang berkaitan dengan perbuatan-Nya:
       
 “Dan Rabbmu menciptakan apa yang Dia kehendaki dan Dia pilih…” (QS. Al Qashash: 68).
Allah berfirman:
         
“Dialah yang membentuk kamu dalam rahim sebagaimana dikehendakiNya.” (QS. Ali Imran: 6).
Allah juga berfirman tentang sesuatu yang berkaitan dengan perbuatan-perbuatan makhluk-makhluk-Nya:
         
 “…Kalau Allah menghendaki, maka Dia memberi kekuasaan kepada mereka terhadap kamu, lalu pastilah mereka memerangimu…” (QS. An Nisa : 90).


Allah berfirman:
          
 “… Dan kalau Allah menghendaki, maka mereka tidak mengerjakannya. Maka tinggalkanlah mereka dan apa yang mereka ada-adakan.” (QS. Al An’am: 137).
4.    Mengimani bahwa seluruh yang ada, wujud, sifat dan geraknya diciptakan oleh Allah I.
Allah berfirman:
           
“Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” ( QS.  Az Zumar: 62).
Allah berfirman:
       
 “…dan Dia telah menciptakan segala sesuatu dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (QS. Al Furqan: 2 ).
Allah berfirman tentang Nabi Ibrahim yang berkata kepada kaumnya:
      
 “Padahal Allah lah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu.” (QS. As Shaffat: 96).
Iman kepada takdir sebagaimana telah Kami jelaskan di atas tidak menafikan bahwa manusia mempunyai kehendak dan kemampuan dalam barbagai perbuatan yang sifatnya ikhtiari. Syara’ dan kenyataan (realita) membenarkan pernyataan di atas.
a.          Secara syara’, Allah berfirman tentang kehendak manusia:
           
“Maka barangsiapa yang menghendaki, niscaya ia menempuh jalan kembali kepada Rabbnya.” (QS. An Naba’: 39).
Allah berfirman:
      
“…maka datangilah tempat kamu bercocok tanam (isterimu) itu bagaimana saja kamu kehendaki…” (QS. Al Baqarah: 223).
Allah juga berfirman bahwa manusia memiliki qudrat (kemampuan):
        
 “maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu, dengarlah dan taatlah…” (QS. At Taghabun: 16).
Allah berfirman:
              
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala dari (kebajikan) yang dikerjakannya serta mendapat siksa dari (kejahatan) yang dikerjakan…” (QS. Al Baqarah: 286).
b.    Secara kenyataan, manusia mengetahui bahwa dirinya memiliki iradat (kehendak) dan qudrat (kemampuan), dia mengerjakan sesuatu atau tidak mengerjakannya tergantung kepada dua hal tersebut.  Dia juga dapat membedakan antara sesuatu yang terjadi dengan kehendaknya (seperti; berjalan), dan sesuatu yang terjadi di luar kehendaknya (seperti; gemetar). Dan kehendak serta kemampuan seorang makhluk tunduk di bawah iradat (kehendak) serta qudrah (kemampuan) Allah I, seperti dalam sebuah firman-Nya:
                
 “(yaitu) bagi siapa di antara kamu yang mau menempuh jalan yang lurus. Dan kamu tidak dapat menghendaki (menempuh jalan itu), kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (QS. At Takwir: 28-29).
Karena alam semesta ini seluruhnya milik Allah, maka tidak ada barang sedikitpun yang menjadi milik-Nya terjadi di luar ilmu (pengetahuan) serta iradat (kehendak)-Nya.
Iman kepada takdir ini tidak dapat dijadikan alasan untuk meninggalkan kewajiban atau untuk mengerjakan maksiat. Kalau itu dijadikan alasan, maka jelas salah ditinjau dari beberapa segi:



1.    Firman Allah I:
                                       
 “orang-orang yang menyekutukan Tuhan mengatakan , “Jika Allah menghendaki, niscaya kami dan bapak-bapak kami tidak mempersekutukan-Nya dan tidak (pula) kami mengharamkan barang sesuatu apapun. Demikian juga orang-orang sebelum mereka yang telah mendustakan (para Rasul) sampai mereka merasakan siksaan Kami. Katakanlah, “adakah kamu mempunyai sesuatu pengetahuan sehingga kamu dapat mengemukakannya pada Kami? Kamu tidak mengetahui kecuali prasangka belaka dan kamu tidak lain hanya menyangka.” (QS. Al An’am: 148).
Kalau alasan mereka dengan takdir dapat diterima Allah I, tentu Dia tidak akan menjatuhkan siksa kepada mereka.
2.     Firman-Nya:
                 
“(mereka Kami utus) sebagai Rasul-Rasul pembawa kabar gembira dan pemberi peringatan agar tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya para Rasul. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.” (QS. An Nisa”: 165).

Andaikan takdir dapat dijadikan alasan untuk orang-orang yang berbuat dosa, niscaya Allah I tidak menafikan alasan tersebut dengan diutusnya para Rasul, karena terjadinya perbuatan dosa setelah diutusnya para Rasul, juga terjadi sesuai dengan takdir Allah I.
3. Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim, dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi I bersabda:
(( مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ إِلاَّ قَدْ كُتِبَ مَقْعَدُهُ مِنَ النَّارِ أَوْ الجَنَّةِ، فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الْقَوْمِ: أَلاَ نَتَّكِلُ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: لاَ  اِعْمَلُوْا كُلٌّ مُيَسَّرٌ، ثُمَّ قَرَأَ )) 
“Setiap diri kalian telah ditulis (ditetapkan) tempatnya di surga atau di neraka. Ada seorang sahabat bertanya,“Mengapa kita tidak tawakal (pasrah) saja, wahai Rasulullah?” beliau menjawab , “tidak, beramal lah karena masing-masing akan dimudahkan.” Lalu beliau membaca surat Al lail ayat 4-7 :
                
 “Sesungguhnya usaha kamu memang berbeda-beda. Adapun orang yang memberikan (hartanya di jalan Allah) dan bertakwa, dan membenarkan adanya pahala yang terbaik (surga) maka Kami menuntunnya kepada  jalan  yang benar.” (QS. Al Lail: 4-7)
Jadi, Nabi r memerintahkan untuk beramal dan melarang pasrah kepada takdir.
4. Allah I memerintah, serta melarang hamba-hamba-Nya, namun tidak menuntut mereka  melakukan sesuatu di atas kemampuan mereka.
Allah I berfirman:
      
“Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu…” (QS. At Taghabun: 16).
Allah berfirman:
        
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya…” (QS. AlBaqarah: 286).
Kalau benar anggapan bahwa manusia tidak memiliki qudrat (kemampuan), iradat (kehendak), ia terpaksa untuk berbuat sesuatu, artinya ia disuruh mengerjakan sesuatu di luar kesanggupannya, ini tentu bertentangan dengan ayat di atas. Oleh karena itu, bila maksiat dilakukan karena kebodohan atau karena lupa, atau karena dipaksa, maka pelakunya tidak berdosa. Mereka dimaafkan Allah.
5.    Takdir Allah adalah rahasia yang tersembunyi, tidak dapat diketahui sebelum terjadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu lebih dahulu daripada perbuatannya. Jadi, kehendak seseorang untuk mengerjakan sesuatu itu tidak berdasarkan pada pengetahuannya terhadap takdir Allah. Dengan ini gagal alasan melakukan dosa dengan takdir karena tidak ada alasan bagi seseorang terhadap sesuatu yang tidak diketahuinya.
6. Kita melihat orang yang ingin mendapatkan keduniaan secara layak, dia akan menempuh jalan yang dapat mewujudkan keinginannya, dan tidak mau menempuh jalan lain, kenapa dia tidak menempuh jalan lain, lalu berdalih dengan takdir? Tetapi mengapa dalam urusan agama, ia memilih jalan yang salah dan berdalih dengan takdir? Padahal dua perkara tersebut sama halnya.  
Untuk lebih jelasnya perhatikan contoh berikut:
Kalau di depan seseorang ada dua jalan. Pertama menuju ke sebuah negeri yang kacau, pembunuhan, perampokan, pelanggaran kehormatan, ketakutan, dan kelaparan terjadi. Yang kedua menuju ke sebuah negeri yang teratur, keamanan yang terkendali, kesejahteraan yang melimpah ruah, jiwa, kehormatan, dan harta benda dihargai. Jalan mana yang akan ia tempuh?
Ia pasti akan menempuh jalan yang kedua yaitu; menuju ke sebuah negeri yang teratur serta aman. Tidak mungkin orang yang berakal menempuh jalan yang menuju ke sebuah negeri yang kacau serta menakutkan dengan alasan takdir. Mengapa dalam hal akhirat ia menempuh jalan yang menuju ke neraka bukan jalan yang menuju surga, lalu berdalih takdir?
Contoh lain adalah; seorang yang sakit disuruh meminum obat, lalu ia meminumnya sedangkan dia tidak menyukai obat tersebut. Dan dilarang memakan makanan tertentu, lalu ia meninggalkannya, sementara dia sangat menyukainya. Semua itu dikarenakan dia sedang menjalani pengobatan untuk sembuh. Orang ini tidak mungkin enggan minum obat atau melanggar pantangan dengan memakan makanan yang dilarang dengan alasan pasrah kepada takdir. Maka Bagaimana seseorang  meninggalkan perintah Allah I dan Rasul-Nya r, atau melakukan larangan Allah dan Rasul-Nya dengan alasan takdir?
7.    Orang yang meninggalkan kewajiban serta berbuat kemaksiatan dengan alasan takdir, seandainya dianiaya oleh seseorang, dirampas hartanya dan dilanggar kehormatannya, lalu orang yang menganiayanya seraya berkata,"Anda jangan menyalahkan saya, karena kelaliman saya ini adalah takdir Allah," alasan tersebut tentu tidak akan dia terima. Maka bagaimana seseorang tidak mau menerima alasan orang lain dengan takdir di saat dia dianiaya oleh orang lain, sedangkan ia sendiri beralasan dengan takdir terhadap kelalimannya pada hak Allah I?
Diriwayatkan bahwa Amirul Mukminin Umar bin khattab t menerima laporan tentang  seorang pencuri yang berhak dipotong tangannya. Beliau memerintahkan agar hukuman dilaksanakan. Maka si pencuri berkata,"tunggu dulu, Amirul Mukminin, aku mencuri karena takdir Allah. Umar pun menjawab,"demikian juga kami memotong tanganmu juga karena takdir Allah I.

Buah iman kepada takdir:
1.    Tawakkal kepada Allah I disaat mengerjakan sebab, tidak bersandar kepada sebab itu sendiri, karena segala sesuatu ditentukan dengan takdir Allah I.
2.    Agar seseorang tidak mengagumi dirinya ketika tercapai apa yang dicita-citakan. Karena tercapainya cita-cita merupakan ni’mat dari Allah I yang telah ditakdirkan-Nya dengan memudahkan sebab-sebab keberhasilan. Sedangkan sifat mengagumi diri akan dapat melupakan syukur kepada ni’mat Allah.
3.    Menimbulkan ketenangan serta kepuasan jiwa terhadap seluruh takdir yang terjadi, tidak gelisah karena hilangnya sesuatu yang disukai atau sesuatu yang tidak disukai menimpanya. Karena dia tahu bahwa hal itu terjadi dengan takdir Allah, Pemilik langit dan bumi dan bahwa hal itu pasti akan terjadi.
Allah berfirman:
                                       
“Tidak suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah ditulis dalam kitab (lauh mahfudh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu tidak berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu dan supaya kamu tidak terlalu gembira terhadap apa yang diberikan oleh-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al Hadid : 22-23).


Nabi Muhammad r bersabda:
(( عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلاَ يَكُوْنُ ذَلِكَ لِأَحَدٍ إِلاَّ لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ ))
“Sungguh menakjubkan perkara orang mukmin. Semua perkaranya baik, dan itu tidak terdapat pada seorangpun selain orang mukmin. Jika mendapatkan kegembiraan, ia bersyukur, itu lebih baik baginya. Dan jika ditimpa kesusahan ia bersabar, itupun lebih baik baginya.” (HR. Muslim).

Dalam masalah takdir ada dua golongan yang tersesat:
Pertama: golongan Jabariyyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia melakukan segala sesuatu secara terpaksa, tidak punya iradah (kehendak) dan qudrah (kemampuan).
Kedua: golongan Qadariyah. Yaitu mereka yang mengatakan bahwa manusia dalam perbuatannya ditentukan oleh kemauan serta kemampuannya sendiri, kehendak serta takdir Allah I tidak ada pengaruhnya sama sekali.
Untuk menjawab pendapat golongan pertama (jabariyyah), dapat digunakan dalil syara’ dan kenyataan:
a.    Adapun dalil syara’: Allah I telah menyatakan bahwa manusia mempunyai kehendak serta menyandarkan perbuatan kepadanya. Allah berfirman:
          
“…Diantara kamu ada yang menghendaki dunia dan ada pula yang menghendaki akhirat…” (QS. Al Imran: 152).
Allah berfirman:
                   
“Dan katakanlah , kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Maka barangsiapa yang (ingin) beriman hendaklah beriman. Danbarangsiapa yang ingin (kafir) biarlah kafir. Sesungguhnya Kami telah sediakan bagi orang-orang zdalim itu neraka yang mengepung mereka..” (QS. Al Kahfi: 29).
Allah berfirman:
             
 “Barangsiapa mengerjakan amal yang baik, (pahalanya) untuk dirinya sendiri dan barangsiapa yang berbuat jahat maka (dosanya) untuk dirinya sendiri (pula). Dan sekali-kali Tuhanmu tidak akan menganiaya hamba-hamba-Nya.” (QS. Fushilat: 46).
b.          Secara kenyataan: bahwa manusia mengetahui perbedaan antara perbuatan-perbuatan yang ikhtiari (dapat diupayakan) yang dikerjakan dengan kehendaknya, seperti makan, minum, dan jual beli, dengan perbuatan yang di luar kehendaknya seperti gemetar disaat demam, dan jatuh dari tempat tinggi. Pada perbuatan yang pertama  ia dapat mengerjakan dan memilih dengan kemauannya tanpa ada paksaan. sedangkan perbuatan yang kedua, dia tidak dapat memilih, juga tidak menginginkan terjadinya.
Pendapat golongan kedua (Qadariyah) dapat dijawab pula dengan dalil syara’ dan dalil akal:
a.    Dalil syara’: Allah I adalah Pencipta segala sesuatu, dan segala sesuatu terjadi dengan kehendak-Nya. Allah telah menjelaskan dalam Al Qur’an bahwa perbuatan makhluk-Nya terjadi dengan kehendak-Nya, sebagaimana firman-Nya:
                                 
 “Dan kalau Allah menghendaki, niscaya tidaklah berbunuh-bunuhan orang-orang (yang datang) sesudah para Rasul, sesudah datang kepada mereka beberapa macam keterangan, akan tetapi mereka berselisih, maka ada di antara mereka yang beriman dan ada (pula) di antara mereka yang kafir. Seandainya Allah menghendaki, tidaklah mereka berbunuh-bunuhan. Akan tetapi Allah berbuat apa yang dikehendaki-Nya.” (QS. Al Baqarah: 253).
Allah berfirman:
                  
“Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami akan berikan kepada tiap-tiap jiwa petunjuk (bagi)nya, akan tetapi telah tetaplah perkataan (ketetapan) dari-Ku; sesungguhnya akan Aku penuhi neraka jahannam itu dengan jin dan manusia bersama-sama.” (QS. As Sajdah: 13).
b.    Dalil akal: bahwa alam semesta ini adalah milik Allah dan berada dalam kekuasaan-Nya. Dan manusia adalah bagian dari alam semesta, ia tidak mungkin dapat berbuat dalam kekuasaan Si Penguasa kecuali dengan seizin dan kehendak-Nya.



TUJUAN AKIDAH ISLAM

  Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang teguh, yaitu :
1.    Untuk mengikhlaskan niat dan ibadah kepada Allah I semata. Karena Dia adalah pencipta yang tidak ada sekutu bagi-Nya, maka tujuan dari ibadah haruslah diperuntukkan hanya kepada-Nya.
2.    Membebaskan akal dan pikiran dari kekeliruan yang timbul karena jiwa yang kosong dari akidah. Dan orang yang jiwanya kosong dari akidah, terkadang ia menyembah (menjadi budak) materi yang nyata saja, dan adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.
3.    Ketenangan jiwa dan pikiran, terhindar dari kecemasan dalam jiwa dan kegoncangan pikiran. Karena akidah akan menghubungkan orang mukmin dengan Penciptanya, lalu meridhai Dia sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang membuat syari`at. Oleh karena itu jiwanya menerima takdir, dadanya lapang, menyerah lalu tidak mencari Tuhan pengganti.
4.    Meluruskan tujuan dan perbuatan dari penyelewengan dalam beribadah kepada Allah dan dalam bermuamalah dengan orang lain. Karena diantara dasar akidah adalah mengimani para Rasul, dengan mengikuti jalan mereka yang lurus dalam tujuan dan perbuatan.
5.    Bersungguh-sungguh dalam segala sesuatu dan tidak melewatkan kesempatan beramal kebajikan, selalu digunakannya dengan baik untuk mengharap pahala. Serta tidak melihat tempat dosa kecuali menjauhinya dengan rasa takut dari siksa. Karena diantara dasar akidah adalah mengimani hari berbangkit serta hari pembalasan terhadap seluruh perbuatan.
           
 “Dan masing-masing orang memperoleh derajat-derajat (sesuai) dengan yang dikerjakannya. Dan Tuhanmu tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al An’am: 132).
Nabi Muhammad r juga menghimbau untuk tujuan ini dalam sabdanya:
(( المُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلىَ اللهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيْفِ، وَفِيْ كُلٍّ خَيْرٌ، احْرِصْ عَلىَ مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللهِ وَلاَ تَعْجِزْ وَإِنْ أَصَابَكَ شَيْءٌ فَلاَ تَقُلْ لَوْ أَنِّيْ فَعَلْتُ، كَانَ كَذَا وَكَذَا، وَلَكِنْ قُلْ: قَدَّرَ اللهُ وَمَا شَاءَ فَعَلَ، فَإِنَّ لَوْ تَفْتَحُ عَمَلَ الشَّيْطَانِ))
“Orang mukmin yang kuat itu lebih baik dan lebih dicintai oleh Allah daripada orang mukmin yang lemah. Dan pada masing-masing terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap sesuatu yang berguna bagimu serta mohonlah pertolongan kepada Allah dan janganlah lemah. Jika engkau ditimpa sesuatu, maka jaganlah engkau katakan , seandainya aku kerjakan begini dan begitu (tentu tidak akan jadi begini). Akan tetapi katakanlah , itu takdir Allah dan apa yang Dia kehendaki Dia lakukan. Sesungguhnya ucapan "andai begini, andai begitu"  membuka kesempatan setan untuk menyesatkan.” ( HR. Muslim).
6.    Menciptakan umat yang kuat yang mengerahkan segala daya dan upaya untuk menegakkan agama Allah serta memperkuat tiang penyanggahnya tanpa peduli apa yang akan terjadi ketika menempuh jalan itu.
       Allah berfirman:
                    
 “Sesungguhnya orang-orang yang beriman hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya kemudian mereka tidak ragu-ragu dan mereka berjihad dengan harta dan jiwa mereka pada jalan Allah. Mereka itulah orang –orang yang benar.” (QS.  Al Hujurat: 15),
7- Meraih kebahagiaan dunia dan akhirat dengan memperbaiki pribadi-pribadi maupun kelompok-kelompok serta meraih pahala dan kemuliaan.
Allah berfirman:
                    
 “Barangsiapa yang mengerjakan amal baik, lelaki maupun wanita dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan balasannya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang paling baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. An Nahl: 97)
Inilah sebagian dari tujuan akidah Islam, Kami berharap agar Allah mewujudkannya pada diri kami dan diri seluruh umat Islam.
**

Tidak ada komentar:

Posting Komentar